Tuesday, May 29, 2007

BERITA TENAGA KERJA

TKI dan Tuntutan Globalisasi


Oleh : Natalis Pigay, SIP

Arus globalisasi yang mengarah ke liberalisme terus melaju ibarat sebuah jugernut yang melintasi jalan bebas hambatan. Hakekatnya globalisasi yang tidak lain adalah mobilitas pasar modal, pasar barang dan pasar kerja akan menjadi semakin tinggi dan intensif antar negara-negara di dunia, sebab pasar modal dan barang adalah persaingan sumber daya manusia. Pasar barang dan jasa yang kita miliki saat ini ini pun akan mampu besaing pada pasar global bila mempunyai mutu yang baik dan harga yang bersaing (comparative and competitive advantage). Peningkatan mutu barang dan jasa tersebut hanya dapat terjadi bila didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Teristimewa globalisasi yang bermuara pada SDM yang kita kenal dengan Migrasi Tenaga Kerja Internasional yang di Indonesia namanya Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Pada saat Migrasi Tenaga Kerja Internasional menjadi fenomena global dan terjadi hampir disebagian besar negara di dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena ini terus berkembang seiring dengan pola hubungan yang terjalin antar negara dalam berbagai dimensi. Meningkatnya hubungan antar negara pada gilirannya berpengaruh pada intensitas arus tenaga berbagai negara. Jhon Naisbit di tahun 1996 menyimpulkan bahwa era globalisasi yang sedang berproses telah meniupkan angin optimisme yang tinggi dalam bidang ekonomi melebihi mas lalu dalam peradaban manusia. Era ini ditandai antara lain dengan terbentuknya pasar tunggal dalam perekomian dunia yang membuka selebar-lebarnya bagi perorangan, kelompok, perusahaan atau institusi-institusilainnya. Pada sisi lainnya, mobilitas sumber daya manusia demikian intensif sehingga fenomena tenaga kerja kita menjadi tidak terelakan.

Globalisasi atau perdagangan bebas telah dimulai, yang pada tingkat regional Asia. AFTA telah berjalan sehingga apapun akibatnya harus kita hadapi. Agar dapat memperoleh efek netto yang berarti dari liberalisasi perdagangan. Persaingan bagi tenaga kerja Indonesia tidak hanya memperebut peluang pasar di luar negeri namun apabila kualitas tenaga kerja ada di dalam negeri akan diisi oleh tenaga kerja asing yang lebih baik berkompeten. Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja dan posisi tawar negara Indonesia sangat tergantung pada sumber daya manusianya, bukan lagi pada sumber daya alam yang dibangga-banggakan selama ini sebagai keunggulan komparatif. Sumber daya manusia memiliki sifat tak terbatas (infinite) karena lebih mengandalkan inteligensia dan pengetahuan yang semakin matang. Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui bersifat terbatas (finite).

Kalau bangsa kita jeli, sebenarnya arus globalisasi memberikan dampak terhadap semakin mudahnya untuk mengadopsi dan menguasai teknologi atau manajemen. Disamping itu perbedaan jumlah ketersediaan dan potensi tenaga kerja di negara-negara kawasan regional menciptakan kesempatan kerja bagi Indonesia untuk sementara waktu. Sebagian negara yang mengirimkan tenaga kerja, Indonesia berpeluang mengirimkan ke dalam negeri baik untuk menciptakan devisa dari remittance yang dikirimkan ke dalam negeri sekaligus untuk menciptkan kualitas tenaga kerja yang didapat dari pengalaman kerja maupun interaksi sosial di luar negeri, disamping meningkatkan kesejahteraan sosial tenaga kerja, serta mengurangi pengangguran yang semakin rumit. Apalagi masalah utama yang dihadapi saat ini adalah laju pertumbuhan penduduk dan angkatankerja yang cukup tinggi. Pada tahun 2002 jumlah penduduk Indonesia 206,23 juta dengan jumlah angkatan kerja 100,8 juta, pengguran 9,1 juta dan 38 juta bekerja juta bekerja tidak penuh. Persoalannya adalah bagaimana kemampuan SDM Indonesia untuk menghadapi persaingan global serta upaya apa yang perlu dilakukan agar tidak kalah bersaing dengan tenaga kerja negara lain? Pertanyaan ini pada intinya adalah upaya peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia, baik dari segi keahlian maupun ketrampilan TKI.

Menurut hemat kami ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi persoalan TKI yang semakin rumit.

Pertama perlu peningkatan keahlian dan ketrampilan melalui berbagai pelatihan. Sebab pelatihan tidak terlepas dari konsep pengembangan SDM. Sulit rasanya suatu negara dapat maju tanpa dukungan pelatihan SDM yang baik. Karena itu pelatihan bukan alternatif tapi perioritas. Pada sisi lain abad ke 21 merupakan human capital dimana SDM menjadi nilai penting bagi dunia. Akibat kurangnya pelatihan dan pembekalan yang baik bagi calon TKI, akhirnya banyak TKI menemui kendala. Permasalahan yang dihadapi tersebut pada umumnya sebenarnya sudah dimulai pada perekrutan calon TKI di desa asal TKI - misalnya soal umur yang tidak memenuhi syarat dan seterusnya. Di samping itu kurangnya memanfaatkan Balai Latihan kerja Luar Negeri (BLK) untuk pelatihan ketrampilan calon TKI, serta peran PJTKI (perusahaan Jasa TKI) di dalam memberikan bimbingan khususnya soal bahasa dan adat istiadat negara yang akan dituju. Dan yang tidak kalah pentingnya juga bagi TKI adalah perlunya pengetahuan tentang sistem perbankan, asuransi, seluk beluk di bandara baik di dalam maupun luar negeri. Kurangnya pengetahuan hal-hal seperti ini menjadikan TKI bodoh dan mudah dimainkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan.

Kedua Dalam rangka peningkatan mutu TKI pemerintah telah mengeluarkan Kepmenakertrans No. 194 A Tahun 2002. Pada Keputusan tersebut di atas terutama pasal 49 (2) tentang PJTKI memberikan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Memang perlu diperbaiki mengenai hal-hal yang menyangkut esensi PAP ini termasuk tolak ukur keberhasilannya. Sebab secara riil bila dibandingkan dengan Tenaga Kerja asal Pilipina, Thailand, India , Bangladesh, TKI menempati peringkat permasalahan yang cukup tinggi seperti bunuh diri, stress, lari dari majikan, tindakan kekerasan, pelecehan seksual dan sebagainya seperti yang sering terjadi di Hongkong, Taiwan, Singapura dan Malaysia.

Tahun 2002 dari 465,485 TKI yang ditempatkan di luar negeri, sebanyak 6.851 kasus dengan berbagai permasalahan dan dominasi terbesar terjadi pada tahap masa penempatan kerja (82,65%). Kondisi ini mengindikasikan bahwa kelemahan besar terjadi pada segmen luar negeri. Konsep perlindungan yang belum mendapat tempat sejajar dengan misi penempatan mengakibatkan terjadinya tendensi eksploitasi TKI terhadap TKI di berbagai segmen penempatan baik pada tahan pra penempatan, masa penempatan. Kepmenakertrans Nomor : Kep. 104 A Tahun 2002 yang hanya memiliki kekuatan sanksi administratif belum mampu mendisiplinkan spekulen TKI.

Oleh karena itulah maka Kepmenakertrans Nomor 104 A Tahun 2002 pasal 66 yang menegaskan bahwa setiap TKI dalam Kendali Alokasi TKI, yang berakhir masa perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang kerjanya harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia. Kepulangan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan bertemu dengan keluarga, juga untuk merefleksi kembali selama masa penempatan sebelumnya. Walaupun demikian dalam Kepmenakertrans Nomor 104 A Tahun 2002, pada pasal 89 memberi kesempatan kepada negara tertentu sesuai dengan kondisi sosial budaya serta peraturan perundangan yang bersangkutan. Misalnya para TKI di Hongkong juga akan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya serta perundangan yang berlaku disana.

Ketiga, Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah, namun hingga kini belum terlihat pemanfaatannya secara efektif. Pembangunan memiliki dua obyek yakni bagaimana memanfaatkan human resourcess dan natural resourcess secara efektif dan efisien. Pentingnya pemanfaatan sumber daya alam secara optimal untuk mengurangi pengangguran semakin tinggi. Apabila dua hal ini dilakukan dengan baik maka pada masa mendatang kita menjadi negara yang justru sebagai penerima tenaga kerja dan bukan pengirim tenaga kerja.*


Mohon Maaf kepada penulis, bukan maksud kami untuk copy paste. kami tetap meng ikut sertakan link dari tulisan anda.
Sumber : Majalah Nakertrans Edisi - 03 TH.XXIV-Juni 2004
http://www.nakertrans.go.id

No comments: